Jumat, 09 Juli 2010

Ketika ketidaktahuan itu ada, maka....


Lama tidak bersua dengan orang yang bisa dianggap hampir sangat dekat atau biasa disebut dengan sahabat, lalu sebuah pesan singkat dari yang telah lama tidak bersua mampir di kotak masuk dan diakhiri dengan kata “plisss” , meskipun penulisannya salah dan menggunakan huruf berlebihan____mungkin untuk mengganti sebagian kata yang dihilangkan_____kontan membuat seorang sahabatpun enggan dan berat untuk menolak. Terlebih pesannya sedikit berbau undangan yang sudah seringkali tidak bisa ditepati dengan puluhan alasan, maka akan terasa sangat tidak enak jika harus ditolak meskipun kondisinya tidak terlalu memungkinkan, dan dasambut dengan meng-InsyaAllah-kan undangan tersebut.
Hari yang dijanjikanpun tiba. Waktu yang tidak ditentukan dalam batasan jam, maka datanglah si sahabat yang meng-InsyaAllahkan- undangan untuk syukuran ulang tahun sahabatnya yang entah keberapa dia tak pernah ingin tahu atau mencari tahu ke tempat yang disepakati. Bersembilan, gadis-gadis itu akan menyelenggarakan syukuran ultah dari empat orang diantaranya ke suatu tempat yang belum diketahui oleh si sahabat yang diundang dengan pesan berakhiran kata “Pliss” tadi.
Sesekali dia mendengar rekan-rekannya mengucapkan kata Inul Vista. Pikirnya itu adalah tempat yang dituju untuk syukurannya, tapi yang jadi pertanyaan, “Inul Vista itu tempat apa?”. Di benaknya memberkan sebuah hipotesa, “ Ah, mungkin itu semacam resto milik salah satu temannya.” Kebetulan temannya ada yang bernama Inul dan saat itu dialah yang melontarkan kata-kata itu untuk pertama kalinya. Kadang juga terdengar kata “kapan kita berangkat” dari rekan yang lain, yang semakin menegaskan bahwa syukurannya bukan di tempatnya sekarang berada.
Dia, sahabat yang diundang tadi, mencoba menanyakan dan berusaha memastikan kemana mereka akan pergi. Tapi teman-temannya hanya menjawab dengan satu kata biasa dan agak membosankan untuk saat itu, “ada dech” dengan penegasan huruf “c” di akhir kata deh-nya.
Berangkat. Seharusnya mereka bersebelas, tapi dua orang pergi untuk urusan masing-masing yang tampaknya cukup penting, dan tampaknya urusan penting itu menyelamatkan mereka dari apa yang akan terjadi selanjutnya.
Solo Square, tempat tujuannya. Entah apa yang ada di sana. Apa yang akan dituju disana dan apa yang akan mereka lakukan disana? Begitulah pertanyaan yang terus memusing di otak si sahabat yang diundang. Sudah jam satu lebih, tapi tiga orang dari bersembilan belum datang, karena naik bus____yang lain nak motor_____. Sementara menunggu, mereka berenam berputar melihat-lihat sepatu layaknya wanita muda yang biasa nyangsang di Mall, dan itu bukan menjadi hal yang menyenangkan bagi sahabat yang diundang, rasanya lebih buruk dari terserang flu di pagi hari.
Akhirnya yang ditunggu datang. Sembilan mahasiswi ini menuju lantai dua Solo Square, tempatnya Inul Vista, sekaligus menjawab semua pertanyaan sahabat yang dindang. Tempat karaoke. “Deg” rasanya jantungnya berdetak melambat dan terasa menghilang dalam remang ruang karaoke. Setiap lagu yang mulai dinyanyikan semakin membuat hatinya meloncat ingin keluar untuk menghakimi dan memberikan seluruh dakwaan di hadapannya. Apa ini? Kenapa begitu jauh dari ekspektasinya?
Menyesal, dipenuhi rasa bersalah pada orang yang semalam membuat rencana dengannya, ibu bapaknya. Rencananya dia, adik laki-lakinya dan ibu bapaknya akan memanen padi yang sedang terkena hama wereng, dengan mesin perontok padi milik bapaknya. Terbayang bagaimana orangtua dan saudaranya sedang berbecek-becek di tanah sawah memotongi padi yang nyaris tak berisi lagi. Di bawah terik matahari yang tidak kenal ampun, digerayangi ulat-ulat hijau berbulu yang tidak pernah punya ampun gatalnya. Bagaimana kaki-kaki tua bapaknya mengayuh mesin perontok padi dan terkena serpihan daun padi yang bertebangan menusuk mata menggelitik bulu hidungnya melekat di wajahnya dengan lem keringat. Bagaimana lapar dan hausnya mereka, karena hanya diganjal sepiring nasi sayur asem dan sepotong tempe goreng untuk sarapan. Sementara diriinya bersantai ria di ruangan ber-AC, tak melakukan apapun hanya berteriak-teriak menyanyi tidak jelas.
Pulang? Akan menjadi sangat tidak menghargai sahabat yang mengundangnya. Terlebih saat dijumpai wajah sahabat yang mengundangnya menangkap sorot gelisah mukanya. Segera dia poles dengan rona kebahgiaan palsu agar tidak mengecewakan, dan sedikit berpartisipasi meskipun hanya dengan duduk dan menepukkan ujung jemarinya yang sangat dingin dengan telapak tangan yang yang tak kalah menggigil.
“Sampai jam berapa?” berulang kali dia menanyakan pada temannya setiap kali melihat jam di ponselnya sambil berharap ada sms dari adiknya dan menyuruhnya pulang. Dua jam berlalu, hampir setengah lima sore. Sholat ashar yang terlambat. Di setiap langkahnya hatinya menjerit pada sang maha pencipta, “Tuhan, jika semua ini seperti apa yang kurasa, silakan tampar aku sekeras mungkin, agar aku masih merasa menjadi hamba-Mu!” lalu,  “jediak!” sebuah benturan yang cukup keras dengan lemari kecil, menciptakan sebuah benjolan di kepala kanannya. “Kenapa hanya begini?” batinnya. “Apa Engkau marah padaku?” batinnya lagi.
Next activity, makan. Tempat makan di bawah tutup, menunggu buka harus sampai jam setengah enam sore. Harusnya bisa pulang, tapi sahabat yang mengundangnya berkata, “Maaf ya sampai malam. Gak papa khan?!” suaranya begitu dan begitu begitu entah begitu yang bagaimana, hingga tidak enak untuk mengatakan, aku pingin pulang. Dan,
Ponsel berdering, baterainya limit, pasti mati, tapi tidak, ponsel masih berdering dan, “ Assalamualaykum” murobi menelfon. Bagaikan mukjizat yang tidak bisa dinyana-nyana. Harusnya jika ponselnya dalam kondisi full bateraypun akan mati dalam 30 detik saat menerima panggilan, tapi ini sampai hampir dua menit bicara dalam kondisi limit bateray, tidak ada peringatan low bat. Begitu jelas dan selesai pesan yang disampaikan.
Setengah enam sore. Harus pulang! Hatinya terus memberontak. Tapi dia punya tumpangan yang masih ingin berputar-putar menjelajahi Solo Square. Setelah sekian perundingan, dan sahabat yang mengundang juga bisa diajak pulang, akhirnya bisa pulang. Dan pulang.
Lima belas menit menuju waktu Isya’, sholat Magrib baru ditegakkan. Belum sempat mandi, membaringkan diri di tengah pintu. Kepalanya mendengung. Mendengung dalam arti yang sebenarnya. Hatinya kembali memohon, “jika semua ini seperti apa yang kurasa, silakan tampar aku sekeras mungkin, agar aku masih merasa menjadi hamba-Mu!” masih seperti yang dia minta di sepanjang jalannya.
Mungkin Tuhan memang mencintainya, atau mungkin tuhan sedang menghukumnya, sahabat yang diundang itupun sakit, dengan rasa sakit yang luar biasa selama lima hari. Tapi dia hanya bisa berharap, “Tuhan, aku tidak akan minta sembuh karena aku pantas mendapatkan ini, tapi tolong berikan aku ampunan untuk kedurhakaanku ini.”