Selasa, 13 Juli 2010

Sayang anak? Tadinya,


Pak RT yang belum menjadi RT pada masa itu dan masih bekerja sebagai kuli di pabrik gaplek di daerah Gilingan Solo, sedangh berada pada masa-masa kebahagiaannya. Dikaruniai dua orang anak laki-laki dan perempuan. Chooti Black B dan Little Mas Nyoman. Meskipun rumah mereka hanya sepetak berdinding anyaman bambu dan berlantai tanah merah, tiada keluhan dari Pak RT yang belum menjadi RT, istrinyaMak Sun dan kedua buah hatinya.
Tidak berbeda dengan orang-orang kaya dan orang tua pada umumnya, Pak RT yang belum jadi RT pasti ingin memberikan semua yang terbaik untuk istri dan anak-anaknya, meskipun dengan semampu sebanyak yang bisa beliau berikan dari setiap rupiah yang dihasilkan dengan tetesan keringat hasil ngulinya. Terlebih jika melihat kondisi keluarganya yang kurus-kurus potret orang kurang gizi dan kebanyakan dikorupsi sama cacing di perut. Maka, di suatu sore yang cerah Sepulang kerja, saat Pak RT yang belum jadi RT pulang dari dinas kantorannya di Gilingan, dengan Mengayuh kereta angin yang sudah lengkap pajak plombiran warna kuning, beliau mampir di sebuah toserba di daerah Palur untuk membeli sekaleng susu kental manis warna putih atau lebih enak dibibir Pak RT yang belum jadi RT disebut Meleg____dari kata Milk yang artinya susu dalam bahasa Indonesia, tapi dalam logat jawa huruf i-nya dilafalkan e dan huruf samarnya disebutkan dengan jelas, dan huruf k-nya menjadi medok logatnya____.
inisiatif membeli Meleg ini didasari dari anak-anak juragan di daerahnya yang katanya sering minum susu Meleg itu, makanya jadi gemuk-gemuk. Namanya juga orang tua yang sayang anak dan bertanggung jawab, ya pingin anaknya sehat, jadinya dibelilah sekaleng susu itu lalu ditentenglah kerumahnya yang berada di perbatasan Karanganyar-Sragen.
Sepanjang jalan hanya wajah-wajah ceria dan bahagia anaknya yang terus bercanda ria di benak Pak RT yang belum jadi RT karena sekaleng Meleg yang beliau bawa. Lalu beliau membayangkan bagaimana khasiat yang bakal ditimbulkan setelah kedua anaknya meminum meleg itu. "Pasti mereka jadi gemuk-gemuk. hehehe."batinnya.
Benar saja, setibanya di rumah beliau langsung disambut meriah oleh CBB___Chooti Black B____yang cerewet____CBB mengalami proses berbicara lebih cepat dari anak-anak seusianya dan mempunyai perbendaharaan kata yang lebih banyak dari teman-temannya karena sering membaca TPI, melihat radio dan mendengarkan buku sekolah milik buliknya____dan senyum kalem istrinya yang sedang memangku LMN___Little Mas Nyoman___yang anteng____LMNlahir pada usia kandungan nyaris delapan bulan, selama mengandung ibunya sering mengalami pendarahan, sehingga perkembangannya agak lambat____.
"Lha iki bapak nggawa Meleg, didum karo adhine ya!___ini bapak bawa susu, dibagi dengan adik ya____" begitu kata Pak RT yang belum jadi RT memberikan sekaleng susu pada putri kecilnya setelah memarkir sepedanya di dalam rumah.
Kontan Choote Black B langsung meraihnya dan menunjukkan pada adiknya yang msih anteng dalam pangkuan ibunya meski telah berusia hampir dua setengah tahun, "Loo ditumbasne susu bapak le, mengko diombe bareng-bareng ya!"
Pak RT yang belum jadi RT yang tak sabar segera menyuruh istrinya untuk menyeduhkan masing-masing satu gelas untuk kedua anaknya. Istrinya yang berbakti segera membuatkan dua gelas ukuran sedang susu untuk kedua buah hati mereka setelah menyeduhkan segelas besar teh panas untuk suaminya.
CBB dan LMN mulai meminumnya dengan sendok karena airnya cukup panas. mereka mencoba menikmatinya, meskipun kadangkala CBB melet-melet kepanasan, merem melek dan beberapa kali mencium bau amis susu yang belum pernah dia cium sebelumnya.
"Ditelasne Pak?___dihabiskan Pak____" Tanya CBB yang tampaknya tidak menyukai minuman mewah konsumsi anak para juragan di desanya.
Bapaknya yang melihat perilaku CBB berkata, "Nek gak entek, ra papa.___kalo tidak habis tidak apa-apa___"
Prosesi minum susu kaleng sudah selesai, tinggal nunggu hasilnya. Tidak perlu menunggu lama, selang dua jam reaksi pun terjadi. Kedua anaknya tiba-tiba mengeluh sakit perut dan bisa diprediksi apa yang akan terjadi selanjutnya, yaitu mencret. Nyaris tiga hari buah hatinya buang-buang air setelah minum susu kaleng.
Pak RT yang belum jadi RT yang sedikit khusnudzon tidak langsung menuduhkan semua kasus mencret ini pada susu kaleng yang beliau beli. penyelidikan untuk menegakkan kebenaran beliau lakukan. Bertanya pada Istrinya, makanan apa saja yang dimakan nak-anaknya sebelum minum susu. Menanyai para juragan reaksi setelah pertama kali minum susu. Memeriksa air sumur di tempatnya, tanggal kadaluwarsa dan aturan minum susu. Nihil. Semua dalam keadaan wajar tanpa sabotase dan seperti bagaimana seharusnya.
Setelah anaknya sembuh betul, kembali beliau memberikan susu itu pada anaknya untuk membuktikan apakah susu itu penyebanya atau bukan. Dan ternyata, kedua buah hatinya kembali mencret-mencret selama dua hari.
"Kenapa Pak?" Tanya Istrinya membawakan segelas teh saat Pak RT yang belum jadi RT duduk kelop-kelop sepulang kerja.
"Mungkin orang sekelas kita ini ndak cocok minum minuman orang kaya macam susu kemarin itu ya mak, pingin sehat malah sakit gak karuan." kata Pak RT yang belum jadi RT perlahan.
"Ya ndak apa-apa to Pak, diambil hikmahnya saja. berarti kita ndak perlu keluar uang banyak buat ngecukupi gizinya anak-anak, bayem kangkung di tegalan juga mereka mau to?!" jawab istrinya menenangkan.
Pak RT yang belum jadi RTpun mengingis sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal lalu menyeruput teh ginasthel buatan istrinya yang cantik.

Jumat, 09 Juli 2010

Ketika ketidaktahuan itu ada, maka....


Lama tidak bersua dengan orang yang bisa dianggap hampir sangat dekat atau biasa disebut dengan sahabat, lalu sebuah pesan singkat dari yang telah lama tidak bersua mampir di kotak masuk dan diakhiri dengan kata “plisss” , meskipun penulisannya salah dan menggunakan huruf berlebihan____mungkin untuk mengganti sebagian kata yang dihilangkan_____kontan membuat seorang sahabatpun enggan dan berat untuk menolak. Terlebih pesannya sedikit berbau undangan yang sudah seringkali tidak bisa ditepati dengan puluhan alasan, maka akan terasa sangat tidak enak jika harus ditolak meskipun kondisinya tidak terlalu memungkinkan, dan dasambut dengan meng-InsyaAllah-kan undangan tersebut.
Hari yang dijanjikanpun tiba. Waktu yang tidak ditentukan dalam batasan jam, maka datanglah si sahabat yang meng-InsyaAllahkan- undangan untuk syukuran ulang tahun sahabatnya yang entah keberapa dia tak pernah ingin tahu atau mencari tahu ke tempat yang disepakati. Bersembilan, gadis-gadis itu akan menyelenggarakan syukuran ultah dari empat orang diantaranya ke suatu tempat yang belum diketahui oleh si sahabat yang diundang dengan pesan berakhiran kata “Pliss” tadi.
Sesekali dia mendengar rekan-rekannya mengucapkan kata Inul Vista. Pikirnya itu adalah tempat yang dituju untuk syukurannya, tapi yang jadi pertanyaan, “Inul Vista itu tempat apa?”. Di benaknya memberkan sebuah hipotesa, “ Ah, mungkin itu semacam resto milik salah satu temannya.” Kebetulan temannya ada yang bernama Inul dan saat itu dialah yang melontarkan kata-kata itu untuk pertama kalinya. Kadang juga terdengar kata “kapan kita berangkat” dari rekan yang lain, yang semakin menegaskan bahwa syukurannya bukan di tempatnya sekarang berada.
Dia, sahabat yang diundang tadi, mencoba menanyakan dan berusaha memastikan kemana mereka akan pergi. Tapi teman-temannya hanya menjawab dengan satu kata biasa dan agak membosankan untuk saat itu, “ada dech” dengan penegasan huruf “c” di akhir kata deh-nya.
Berangkat. Seharusnya mereka bersebelas, tapi dua orang pergi untuk urusan masing-masing yang tampaknya cukup penting, dan tampaknya urusan penting itu menyelamatkan mereka dari apa yang akan terjadi selanjutnya.
Solo Square, tempat tujuannya. Entah apa yang ada di sana. Apa yang akan dituju disana dan apa yang akan mereka lakukan disana? Begitulah pertanyaan yang terus memusing di otak si sahabat yang diundang. Sudah jam satu lebih, tapi tiga orang dari bersembilan belum datang, karena naik bus____yang lain nak motor_____. Sementara menunggu, mereka berenam berputar melihat-lihat sepatu layaknya wanita muda yang biasa nyangsang di Mall, dan itu bukan menjadi hal yang menyenangkan bagi sahabat yang diundang, rasanya lebih buruk dari terserang flu di pagi hari.
Akhirnya yang ditunggu datang. Sembilan mahasiswi ini menuju lantai dua Solo Square, tempatnya Inul Vista, sekaligus menjawab semua pertanyaan sahabat yang dindang. Tempat karaoke. “Deg” rasanya jantungnya berdetak melambat dan terasa menghilang dalam remang ruang karaoke. Setiap lagu yang mulai dinyanyikan semakin membuat hatinya meloncat ingin keluar untuk menghakimi dan memberikan seluruh dakwaan di hadapannya. Apa ini? Kenapa begitu jauh dari ekspektasinya?
Menyesal, dipenuhi rasa bersalah pada orang yang semalam membuat rencana dengannya, ibu bapaknya. Rencananya dia, adik laki-lakinya dan ibu bapaknya akan memanen padi yang sedang terkena hama wereng, dengan mesin perontok padi milik bapaknya. Terbayang bagaimana orangtua dan saudaranya sedang berbecek-becek di tanah sawah memotongi padi yang nyaris tak berisi lagi. Di bawah terik matahari yang tidak kenal ampun, digerayangi ulat-ulat hijau berbulu yang tidak pernah punya ampun gatalnya. Bagaimana kaki-kaki tua bapaknya mengayuh mesin perontok padi dan terkena serpihan daun padi yang bertebangan menusuk mata menggelitik bulu hidungnya melekat di wajahnya dengan lem keringat. Bagaimana lapar dan hausnya mereka, karena hanya diganjal sepiring nasi sayur asem dan sepotong tempe goreng untuk sarapan. Sementara diriinya bersantai ria di ruangan ber-AC, tak melakukan apapun hanya berteriak-teriak menyanyi tidak jelas.
Pulang? Akan menjadi sangat tidak menghargai sahabat yang mengundangnya. Terlebih saat dijumpai wajah sahabat yang mengundangnya menangkap sorot gelisah mukanya. Segera dia poles dengan rona kebahgiaan palsu agar tidak mengecewakan, dan sedikit berpartisipasi meskipun hanya dengan duduk dan menepukkan ujung jemarinya yang sangat dingin dengan telapak tangan yang yang tak kalah menggigil.
“Sampai jam berapa?” berulang kali dia menanyakan pada temannya setiap kali melihat jam di ponselnya sambil berharap ada sms dari adiknya dan menyuruhnya pulang. Dua jam berlalu, hampir setengah lima sore. Sholat ashar yang terlambat. Di setiap langkahnya hatinya menjerit pada sang maha pencipta, “Tuhan, jika semua ini seperti apa yang kurasa, silakan tampar aku sekeras mungkin, agar aku masih merasa menjadi hamba-Mu!” lalu,  “jediak!” sebuah benturan yang cukup keras dengan lemari kecil, menciptakan sebuah benjolan di kepala kanannya. “Kenapa hanya begini?” batinnya. “Apa Engkau marah padaku?” batinnya lagi.
Next activity, makan. Tempat makan di bawah tutup, menunggu buka harus sampai jam setengah enam sore. Harusnya bisa pulang, tapi sahabat yang mengundangnya berkata, “Maaf ya sampai malam. Gak papa khan?!” suaranya begitu dan begitu begitu entah begitu yang bagaimana, hingga tidak enak untuk mengatakan, aku pingin pulang. Dan,
Ponsel berdering, baterainya limit, pasti mati, tapi tidak, ponsel masih berdering dan, “ Assalamualaykum” murobi menelfon. Bagaikan mukjizat yang tidak bisa dinyana-nyana. Harusnya jika ponselnya dalam kondisi full bateraypun akan mati dalam 30 detik saat menerima panggilan, tapi ini sampai hampir dua menit bicara dalam kondisi limit bateray, tidak ada peringatan low bat. Begitu jelas dan selesai pesan yang disampaikan.
Setengah enam sore. Harus pulang! Hatinya terus memberontak. Tapi dia punya tumpangan yang masih ingin berputar-putar menjelajahi Solo Square. Setelah sekian perundingan, dan sahabat yang mengundang juga bisa diajak pulang, akhirnya bisa pulang. Dan pulang.
Lima belas menit menuju waktu Isya’, sholat Magrib baru ditegakkan. Belum sempat mandi, membaringkan diri di tengah pintu. Kepalanya mendengung. Mendengung dalam arti yang sebenarnya. Hatinya kembali memohon, “jika semua ini seperti apa yang kurasa, silakan tampar aku sekeras mungkin, agar aku masih merasa menjadi hamba-Mu!” masih seperti yang dia minta di sepanjang jalannya.
Mungkin Tuhan memang mencintainya, atau mungkin tuhan sedang menghukumnya, sahabat yang diundang itupun sakit, dengan rasa sakit yang luar biasa selama lima hari. Tapi dia hanya bisa berharap, “Tuhan, aku tidak akan minta sembuh karena aku pantas mendapatkan ini, tapi tolong berikan aku ampunan untuk kedurhakaanku ini.”

Jumat, 23 April 2010

Mas Nyoman in "Obsesi Pembalap"


Bermodal Honda Astrea Grand keluaran tahun 1996 milik bapak semata wayangnya, Mas Nyoman menimba ilmu di sebuah Politeknik swasta di kota Gudeg Ngayogjakarto. Biarpun modelnya sudah tidak up to date lagi, tapi mesinnya tidak kalah kuat dan kenceng dibanding Bebek-bebek baru yang banyak diiklankan di Tivi. Ditambah lagi dengan kemampuan Mas Nyoman yang jebolan STM otomotif, dalam mengutak-atik jika ada masalah dengan motor yang tidak bisa diremehkan. Selain itu, juga dikarenakan jiwa Mas Nyoman yang mencomot kemampuan Valentino Rossi, Dany Pedrosa, Casey Stoner dan Lorenzo, sehingga mampu mengeluarkan performa motor bebek 110cc dalam bentuk motor balab model Ducati dan kawan-kawannya.
Jiwa pembalap Mas Nyoman yang sangat unik dan kemampuan mengutak-atik plus modifikasi ala kadarnya sering kali tidak didukung oleh situasi, sehingga tidak jarang dia harus mengalami hal-hal luar biasa ketika dia berusaha menyalurkan insting membalapnya, disamping prestasi membanggakan yang pernah dia raih. Diantara prestasi-prestasi itu adalah:
"Kebanggaan mengalahkan Honda Revo"
Prestasi membanggakan ini dicatat saat Mas Nyoman hendak pulang kampung ke Sragentina tercinta, karena uang sakunya habis, da berniat untuk meminta pada orang tuanya. Rasa rindu pada saudara-saudaranya serta rasa perih mengirit sebulan di Jogja yang tak tertahankan lagi, membuat Mas Nyoman tidak berpikir panjang untuk tidak pulang.
Bersama teman satu kontrakan yang kebetulan adalah tetangga sekaligus anak dari anaknya adiknya simbah kakung __bingung?__ Mas Nyoman menunggangi Grand '96nya dengan mantap. Sepanjang jalan matanya terus waspada dan bermotor dengan kecepatan ala kadarnya. Namun, semua jalan mencapai tujuan pastilah mengandung Ancaman, Gangguan, Hambatan, dan Tantangan__ini disingkang AGHT, bisa ditemukan dalam pelajaran PKN SMA, Kayaknya?!__ begitu juga dengan Mas Nyoman. Saat dia mencapai sebuah Traffic Light atau dalam bahasa anak gaul lebih dikenal dengan "Bang Jo", (tapi bukan Bang Ricky Jo presenter acara bola lho! tapi singkatan dari abang dan ijo yang merupakan Bahasa Jawa untuk warna Merah dan Hijau, lampu lalu linntas), Mas Nyoman bersebelahan dengan seorang pengendara Revo yang sok gaya. Si pengendara Revo yang lebih dulu kejebak lampu merah, melihat dengan gaya mengejek pada mas Nyoman (kira-kira itu yang diterjemahkan Mas Nyoman dari tatapan dan lirikan penngendara Revo itu). Mas Nyoman yang hatinya memanas karena merasa diremehkan, lalu membunyikan motornya dengan gas kuat-kuat memberi isyarat menantang balapan. Pengendara Revo terpancing dan melakukan hal yang sama, pertanda setuju untuk berduel.
Lampu Hijau menyala dan "weeezzzzzzzz.....!!!"
Kedua motor melaju dengan kencang. Masing-masing pengendaranya mengeluarkan keahliannya untuk menghasilkan performa maksimal dari motornya. Jangan lihat motornya bung, tapi lihat siapa yang bawa motor, kira-kira itulah yang akan diucapkan Mas Nyoman saat dia menang.
"Wuzzzzz...." mirip iklan di Tivi, Revo melaju dengan kencang, jauh meninggalkan Grand mas Nyoman. Tapi, ibarat Valentino Rossi, meskipun dapat start terakhir, posisi nomer satu tetap bisa diraih selagi balapan belum usai. dan...
"Wezzzzz..... thin... thin...!" Mas Nyoman pun tamcap gas pol sehingga motornya melaju dengan sangat kencang. Bahkan helm yang dikenakan Mas Nyoman nyaris melayang dari kepalanya dan pastinya berhasil meninggalkan pengendara Revo sejauh dua "Bang Jo" dengan sukses.
Namun, tampaknya kemenangannya harus dibayar dengan agak mahal. Meskipun dia berhasil mengalahkan Revo keluaran baru dan mendapat pengakuan dari pengendaranya, Mas Nyoman harus kehilangan sesuatu yang penting saat tiba di "Bang Jo" ketiga.
Ketika lampu berwarna hijau, seperti biasa, Mas Nyoman tancap gas sekencang mungkin agar motornya bisa segera melaju. Tapi berkali-kali dia nyalakan gas-nya sekencang mungkin motornya tetap bergeming tidak bergerak sedikitpun dan hanya bergetar. Dikarenakan antrian kendaraan di belakangnya yang terus membunyikan klakson menunggu mas Nyoman yang tidak jalan-jalan juga, terpaksa Mas Nyoman dan rekannya turun dari motornya dan membawanya ke tepi jalan dengan manual saja, alias dituntun teman-teman.
Satu-persatu Mas Nyoman memeriksa grand '96-nya. membungkuk, meraba Dari ujung depan hingga belakang, dari samping ke samping, dari atas ke bawah, hingga ditemukan ketidaklengkapan dari motornya.
Mas Nyoman yang tampak tidak percaya dengan apa yang dia temukan, menegakkan tubuhnya sambil garuk-garuk kepalanya.
"Piye Mas? apane sing rusak?" Patnernya bertanya berusaha memastikan apa yang terjadi.
"He.... rantainya ilang, yo ra iso jalan ki." Mengingis dengan muka tidak bersalah Mas Nyoman menyatakan halnya.
"Lha terus piye Mas?" Mulai menampakkan wajah cemas sambil ditutupi senyum terpaksa si patner mencari jawaban.
"Yo... ra sido mulih, wong aku wis ra duwe duwit. Sek telpon pren pren wae, ben ditarik sampai kontrakan meneh, trus kita ngutang dulu sama yang lain untuk kebutuhan kita, minimal seminggu ke depan, pokoke sampai dapat rantai baru hehehe..." santai dan tanpa beban mas Nyoman ngobral pada patnernya. Lalu dia mengeluarkan handphonnya dan meng-calling beberapa teman.
Nasib Rek, mau jadi Valentino Rossi kok malah melasi.

"Taklukkan Mio"
Godaan terberat bagi seorang pembalab dalam angan-angan adalah jika ditantang untuk balalapan. Jika menolak, gengsi dianggap cemen. Kalau diterima, kok motornya kayak kiyek. Inilah yang kembali dilakoni Mas Nyoman saat pengendara Mio secara tidak langsung menantangnya untuk balapan di jalanan kota Jogja. Namanya gengsi tinggi plus semangat udah lama gak ngebut sejak insiden rantai motor, ya ayo aja kata Mas Nyoman. Lap pertama di menangkan oleh Mio karena Keunggulan Tarikannya yang enteng dan gak perlu injak-injak persneling setelah berhenti di BangJo. Tapi Lap-Lap selanjutnya jangan tanya, Sudah bisa dipastikan Mas Nyoman menak mutlak. Yah, maklumlah, motor matik masih kalah dengan mesin Grand '96 Mas Nyoman. Namun sayang, saat tiba di garis finis Mas Nyoman harus putar balik ke garis Start, dikarenakan tutup AKInya melayang entah dimana saat dia ngebut tadi. Alhasil dia diketawain habis-habisan oleh saingannya,
"Kenapa Mas, balik maning ya wkkkkkk.... ."
bagusnya setelah dua lampu BangJo dia lewati, ditemukannya si tedeng dan masih dalam keadaan utuh meskipun terlempar kesana-sini oleh berbagai kendaraan.
"Slamet-slamet gak dimarahin bapak." Katanya sambil mengelus dadanya saat memungut tedeng dari tengah jalan raya yang ruame.


"Nabrak Orang?!"
Berapa kalipun gagal, juara tidak akan pernah menyerah. Itulah Mas Nyoman. Setelah beberapa kali menorehkan prestasi dngan catatan, dia tetap berusaha untuk menjasi pembalap. Bahkan jika tidak ada seorangpun yang tidak bisa diajak balapan, maka pembalap hayalanpun tak mengapa.
Salah satunya saat dia bersama anak dari anaknya adiknya simbah kakungnya, berboncengan menikmati malam hari di jalanan sepi Jogja untuk mencari menu makan malam yang lain-dari yang lain, karena tukang nasi goreng yang biasa lewat gak lewat, gas untuk masak hampir habis dan kebetulan uang saku masih buanyak.__panjang bener kalimatnya__
Karena tidak ada saingan yang naik motor dengan kencang, maka Mas Nyoman berhayal dia sedang balapan dengan Casey Stoner. dia mengeluarkan kemampuannya, menikung, berbelok-belok seakan berada dalam lintasan Moto GP di Australia. Kecepatan terus dinaikkan dalam suasana jalanan yang remang-remang, hanya diterangi lampu motor seadanya, hingga tiba-tiba, "dug!!" sebuah menda keras menghantam kaki Mas Nyoman dan jatuh ke belakang motornya.
" Hah, nabrak orang? cepat turun! ndang midok!" panik yang bercampur bingung Mas Nyoman menyuruh temannya turun untuk memastikan apakah dia benar-benar menabrak orang, padahal dia masih mengendarai motornya dengan kencang.
"Lha motore durung mandeg Mas." kata temannya.
"O iyo, ayo balik sek!" Mas Nyoman yang menyadarai kekeliruannya segera memutar motornya 180 derajat menuju benda yang tadi berguling di kakinya. "Piye? uwong opo dudu?"
"Dudu Mas, iki tedeng motormu!" kata temannya ringan.
Mas Nyoman pun melihat ke arah motornya yang tedengnya tinggal sebelah, lalu keduanya pun tertawa terbahak-bahak menyadari apa yang terjadi.
Tapi jangan pernah berpikir Mas Nyoman kapok punya jiwa pembalap, karena sekarang dia justru memprotholi semua tedengnya, sehingga dia tidak perlu khawatir barang-barangnya melayang saat dia ngebut. Saluuut!!

Strange


"Ketemuan dimana?"
Sebuah pesan singkat melayang ke inbox Nokia 3315 berwarna biru.
Dengan piawai jempol kanan si empunya menekan keypad handPhone bermaksud menyampaikan pesan balasan.
"NUMBER NOT IN USE"
Sebaris kalimat singkat muncul setelah tanda "send" ditekan.
*123#
requesting.......
................
"Not done"
Sebuah kalimat pendek kembali muncul diikuti suara "Tuut" yang keras.
123 call.....
calling....
"Nomer anda berada dalam masa tenggang, untuk dapat melakukan panggilan keluar silakan lakukan pengisian ulang terimakasih."
Tami, si empunya Handphone, kemudian merogoh saku roknya. Diraihnya sebuah dompet hitam yang berisi benda2 wasiat miliknya, karmas, STNK, SIM, Kartu Perpus, Kartu Parkir, KTP dan Uang sakunya. Dua lembar lima ribuan dan dua lembar duapuluh ribuan.
"Ngak Cukup!" Katanya.
Bergegas dia berpakaian. Rok hitam panjang, kemeja merah hati, kerudung putih polos, dengan kaos kaki putih dan sepatu hitam yang belum sempat disemir. Dihampirinya Astrea Grand tahun 94, milik bapaknya yang diamanatkan untuknya. Setelah lima menit pemanasan langsung dia tancap gas menuju kos-kosan temannya.
Tidak lebih dari dua pulh menit dia sudah menemuai temannya tengah berjalan dengan sebuah helm dalam pelukannya. Memakai jubah biru kembang2, tas biru kotak-kotak dan kerudung putih.
"Tiin tiin..., maaf gakda pulsa, langsung kesana ya?" Tanya Tami pada temannya dan dibalas dengan sebuah anggukan tanda setuju.
"Gimana skripsinya?" Tami kembali bertanya.
"Mandeg." Kata temannya.
"Aku judul aja belum ada, memang gila." Kata Tami.
Beberapa jam berlalu.
Nampak Astrea Grand keluaran tahun 1994 diparkir di depan gedung kemahasiswaan, yang bentuknya agak aneh. Seorang pria setengah baya sedang duduk berhadapan dengan Tami. Sebuah obrolan singkat terjadi diantara keduanya.
"Terereng...tererereng...."
private number
.......
answer
.......
"Halo!"
"Brengsek!" Suara seorang wanita keluar dari Handphone dan..
"braak..." pintu ruangan terbuka. Seorang wanita dengan pistol di tangan kanannya, serta sebuah hapi ditangan kirinya menerobos masuk, Lalu....
"dorrrr..." sebuah peluru ditembakkan, tepat menyerempet bagian atas telinga kiri Tami.
Tidak ada kegaduhan apapun. Tidak ada teriakan. Tidak ada suara mengaduh. Hanya ada suara percakapan wanita berpistol dan laki-laki setengah baya itu. Tami bangun dan mengelus kepalanya, hanya sedikit darah dan sedikit nyeri. Seorang wanita paruh baya menghampirinya, membantu membersihkan lukanya.
Sementara, Pria setengah baya itu mulai tampak kesal dengan obrolan wanita yang membawa pistol, dan bergegas keluar. wanita yang membawa pistol berterik-teriak dan membanting meja, namun nampaknya pria separuh baya itu tidak perduli dan terus menggeloyor keluar. Dia menghapiri Tami yang masih meringis memegangi kepalanya.
"Masih sakit?" Tanyanya.
"Lumayan."jawab Tami.
Dengan sambil menahan rasa perih, Tami menyadari sesuatu pada pria separuh baya itu.
"Baju Bapak bagus, tapi sepertinya belum selesai dibatik ya?" Tanya Tami.
"Biarlah, saya suka model ini." Jawab si pria separuh baya.
"Tapi..." belum sempat tami melanjutkan kalimatnya, wanita berpistol menuju kearahnya. Si pria separuh baya berusaha menghadangnya dan memberi isarat pada Tami untuk segera meninggalkan ruangan.
Tami pun pergi. Segera.
Melangkah menuju pemberhentian bis di Palur. Nampak seorang teman juga tengah menanti bis disana, menuju arah Sragen.
"Ngapain disini?" Tanya Tami pada temannya.
"Nunggu bis." jawab si teman.
"Tapi ka rumahmu di Klaten?" kembali sebuah pertanyaan dilontarkan.
Temannya hanya tersenyum dan tidak menjawab.
Tami kembali berjalan. Namun dari kios seberang jalan sayup2 terdengar teriakan wanita memanggi-manggil namanya. Tami menghentikan langkahnya. menengok mencari-cari sumber suara itu berasal. Matanya mengeriyip, seorang wanita berkulit kuning langsat duduk melambaikan tangannya pada tami sambil terus meneriakkan nama tami.
Sedikit penasaran namun penuh rasa ingin tahu tami menyeberang menuju kios di seberang jalan. didapatinya seorang wanita kuning langsat itu tersenyum padanya. rupanya teman SDnya yang sedikit mengalami gangguan jiwa waktu di SD dulu. Mungkin sekarang sudah sembuh, buktinya dia masih mengingatnya setelah sekian tahun tidak ketemu.
"Piye kabare? wis suwe banget ya. Ki aku karo kanca2ku ning kene." sebuah sapaan hangat menghampiri Tami, lengkap dengan senyuman, pelukan dan cipika cipiki tentunya.
Tami melihat ke sekitar. Didapatinya beberapa temannya. Seorang teman yang dulu bekerja di Batam juga berada di situ, di kios sebelah. Lalu ada juga seorang teman SMP-nya yang beragama nasrani, tapi anehnya dia memakai jilbab dan sedang mengerjakan Sholat di kiosnya.
"Tit tit tit tiiiiiiit......." Mata tami terbuka. Alarm dari Nokia 3315 birunya menyadarkannya dari alam mimpi. Dia mengerjap-ngerjapkan matanya.
"Mengko nggodog wedhang nduk, mak e selak kesusu arep mangkat tandur!" Suara ibunya membuatnnya benar-benar sadar.
Tami tersenyum kecut. CUMA MIMPI... MIMPI YANG ANEH.

Di Usia ke Sepuluh tahun.


Apa yang dimainkan anak perempuan berusia sepuluh tahun? Boneka barbie, masak-masakkan, perang-perangan, sepak bola, congklak atau main judi? Mudah-mudahan bukan yang terakhir, tapi yang jelas di usia sepuluh tahun anak perempuan akan berusaha untuk bersosialisasi dengan kawan-kawan sebayanya yang sejenis juga yaitu anak perempuan.
Namun, agak berbeda denganku. Aku jarang berinteraksi dengan teman sebayaku karena menurut emakku tercinta, hal-hal yang dimainkan oleh teman-teman sebayaku saat itu adalah hal yang sangat berbahaya. Diantaranya:
1. Bermain api saat masak-masakkan di kebun tetangga. Kata emakku apinya bisa mengakibatkan kebakaran rumah atau pohon, karena disana banyak ranting kering dan dedaunan kering yang berserakan. Dan bagusnya hal seperti itu pernah hampir terjadi dan bukan hanya sekali.
2. Bermain di kali bengawan Solo. Rumahku berjarak empat rumah dari sungai bengawan Solo. Sebagian geng teman-temanku yang menguasai Sungai sering bermain perahu-perahuan, belajar berenang, main enceng gondong, menjarah sungai, mengambil barang-barang yang terhanyut di sungai dan melakukan berbagai aktivitas di suangai yang menyenangkan. Kata emakku, itu jorok, sungai kita sudah tidak seperti jaman emak dulu, banyak lubang, binatang berbahaya dan airnya tidak sehat, jadi jauhi sungai! begitulah.
3. Maling Tebu. Inilah hal yang paling dilarang untuk aku lakukan, bermain dengan anak-anak yang suka maling tebu. Kata emakku itu buruk, tercela dan kalau tertangkap bisa masuk penjara. Padahal menurut cerita teman-temanku yang suka nyolong tebu di perkebunan milik pabrik gula gak ada cerita tentang penjaranya. Semuanya keren, menantang, seperti dikejar-kejar mandor, dikejar-kejar ular sampai bisa dijahit di bagian lutut kita. Wow keren kayaknya.
Alhasil aku hanya bisa berinteraksi dengan teman-teman saat ngaji di TPA, dan Sekolah. Selebihnya kuhabiskan waktu bermainku dengan Tivi hitam-putih yang dibeli bapak, atau adik dan sepupuku. Namun semua itu sangat membosankan, jadi kulakukan hal yang kuanggap menyenangkan dalam dunia anak sepuluh tahun, yaitu membuat permainan, dimana akulah yang mengendalikan semuanya. Main setan-setanan.
Saat itu setan yang paling populer di usiaku yang kesepuluh, selain si manis jembatan ancol adalah pocong. Aku pernah melihat pocong beberapa kali di Tivi dan aku akn buat pocong sendiri di rumah dengan adikku yang berusia enam tahun. Ceritanya aku dan seorang adikku yang lain yang berusia empat tahun, seorang sepupu yang juga empat tahun dan seorang tetangga yang setahun lebih muda dariku akan bermain sebagai orang desa (begitu aku menyebutnya saat itu) yang ketakutan karena ada pocong di desanya. Aku lupa bagaimana pembagian perannya, tapi yang jelas ada RT, pedagang dan juragan batik disana.
Langkah awalnya, aku membungkus adikku yang berusia enam tahun dengan kain hitam panjang yang biasa kujadikan selimut saat tidur, dengan posisi telentang lalu mengikatnya di lima bagian, ujung kepala, pergelangan kaki, leher, perut dan lutut. Semuanya terlihat baik-baik saja. Kemudian aku membedaki adikku, dengan bedak bayi seputih mungkin, dan dia pasrah saja sambil merem. Sementara anak-anak yang lain berada di sekeliling melihat aksiku.
Setelah acara make-up pocong selesai aku menyuruh mereka semua sembunyi, karena ini adalah petak umpet pocong. Semuanya menurut dan sembunyi di tempat masing-masing, sesuai petunjukku. Sedangkan aku, aku membantu si pocong berdiri, karena dia tidak bisa berdiri sendiri. Rencananya aku akan menunjukkan tempat-tempat yang harus dia lewati sebagai pocong, tapi semua rencana menghilang saat aku memancang pocong yang aku buat secara keseluruhan, mulai dari ujung atas sampai kakinya. aku bergeming tak bergerak. Seakan seluruh aliran darahku berhenti dan jantungku berhenti berdetak. Kakiku sangat berat. Namun semua itu tidak berlangsung lama. Setelah adikku membuka matanya, barulah hal yang benar-benar terasa seram terjadi. Wajahnya pucat, matanya merah tiba-tiba membuka, dengan tubuh terbungkus kain hitam berdiri tepat di hadapanku. Segera dan cepat kuambil langkah seribu sambil meneriakkan A panjang berlari menuju persembunyian adik dan sepupu kecilku.
Terengah-engah dengan mulut ternganga aku duduk diantara mereka berdua. Sementara si pocong terus berteriak teriak memanggil namaku. Tampaknya dia juga ketakutan saat melihat wajahnya di cermin (tepat di belakangku berdiri saat membuat pocong ada cermin besar).
"Mbak aku wedi!" si pocong memanggilku dengan suara rintih menangis.
"Aku yo wedi karo kowe, pokoke kowe ojo mrene!" kataku dengan keras.
"Lha terus leh nyopot iki piye, tanganku gak iso metu?" nada suara pocong semakin menunjukkan dia sedang menangis.
"Lha piye? aku wedi karo kowe." jawabku lagi. Lalu aku suruh adik kecil dan sepupuku kesana, belum sampai mereka keluar, mereka malah berteriak.
"wonge rene mbak." kata mereka.
Aku pun berusaha memastikan, dia memang menuju arah kami, dan dia melompat. Sangat menyeramkan seperti di tivi, hingga aku mengeluarkan banyak keringat kerena ketakutan. Lalu membawa dua adik kecilku berlari ke rumah tetangga. Bagusnya aku menemukan emakku di pintu, jadi aku ceritakan semuanya kepada emak, dan hasilnya aku mendapatkan satu lagi larangan dari emakku, tidak boleh main setan-setanan dengan siapapun juga, karena membahayakan diri sendiri dan orang lain. Habislahlah.

Jumat, 02 April 2010

Melamar



Malam Romantis di sebuah restoran Perancis. Diiringi musilk slow, ruangan yang tenang, cahaya lampu yang tidak terlalu terang, dan sedikit remang-remang. Dipadu dengan cahaya lilin dan sekuntum mawar merah di vas kaca ala restoran Perancis.
"Selamat malam, saya ingin pesan satu meja untuk dua orang." Karno de las Carbite yang telah berpakaian jas hitam lengkap dengan dasi kupu-kupu, sapu tangan putih yang diselipkan di saku kiri jas dan sepatu hitam mengkilat plus model rambut dan kumis tipis ala Alejandro de La Vega (Zoro) menghampiri resepsionis restoran untuk memesan meja.
"Meja delapan tuan, malam spesial tuan?" resepsionis restoran memberikan nomer meja dengan senyuman manis dan gaya yang sangat sopan.
"yah, begitulah kira-kira, mmm Sebenarnya ini."  Karno de las Carbite mengeluarkan sebuah cincin dari saku celananya dan menunjukkan pada Sang Resepsionis.
"Aku ingin melamar pacarku, tapi aku ingin membuatnya terkesan jadi mungkin anda bisa menolongku?" tambah Karno de las Carbite.
"Oo... ya ya ya, saya mengerti tuan, anda meminta saya menaruh cincin ini di dalam gela pasangan anda dan saat dia minum... waow perfect, dengan senang hati tuan." Resepsionis yang cepat tanggap tersenyum sambil mengangguk-anggukan kepalanya.
"Terimakasih, nanti saat aku melambaikan tangan pastikan anda mengantar wine beserta musiknya, oke...!" Karno de las Carbite berlalu menuju mejanya setelah memberikan kedipan mata tanda deal dengan resepsionis restoran.
Duduk di bangku yag ditunjukkan resepsionis tadi, Karno de las Carbite sesekali melihat jam tangannya dan melihat ke arah pintu masuk kalau kalau pacarnya sudah datang. tampaknya masih cukup lama, karena dia datang satu jam lebih awal.
Tiga puluh sembilan menit berlalu, akhirnya penantian Karno de las Carbite berakhir juga. Seorang gadis cantik dengan gaun merah melangkah menuju pintu masuk restoran. Rambut hitam lurus berkilau terurai. dengan tambahan efect slow motion, langkahnya perlaha menuju Karno de las Carbite. Rambutnya sedikit berayun tertiup angin sebagai efek tambahan. Senyuman merekah dari bibir merahnya yang menggoda. Perlahan menuruni tangga dan...
"Awww... Ao...," gadisnya keseleo di anak tangga.
Karno de las Carbite yang melihat insiden itu segera menghampiri gadisnya dan segera memberikan pertolongan.
"Hany, Kowe baik2 saja to?" Tanyanya pada kekasihnya.
"No, I Think my leg be sprained, Oh... it's not good, Aoww... I think I can't walk Honey."Si gadis meringis kesakitan karena kakinya keseleo.
"Ora masalah hany, meskipun kowe ora biso mlaku amargo keseleo, hanymu iki siap ngendhong dirimu sampai ke meja kita." Karno de las Carbite berusaha menenangkan Elizabeth Soendary, Pacarnya yang keseleo dan membopongnya menuju meja mereka.
"I'm so sorry honey." Elizabeth Soendari meminta maaf pada Karno de las Carbite selama perjalanannya menuju tempat duduk.
Karno de las Carbite yang tidak merasa keberatan hanya manthuk-manthuk menyatakan semua itu bukan salahnya elizabeth Soendari lalu mendudukkan pacarnya di tempat duduknya. Dia juga sempat menawarkan untuk mengurutnya, tapi Elizabeth Soendari menolak dan mengatakan kalau dia baik-baik saja. Karno de las Carbite merasa lega meskipun sedikit khawatir dengan kondisi pacar semata wayangnya itu. Namun, melihat pacarnya yang sudah gak meringis kesakitan dia tersenyum.
"Kembali ke rencana sebelumnya." begitu pikir Karno de las Carbite, lalu dia melambaikan tangan ke arah resepsionis.
Tangap dengan apa yang dilihat, resepsionis segera memanggil pelayan dengan dua gelas kosong dan sebotol Wine, beserta seorang pemain biola yang sudah disediakan di restoran perancis.
Sigap dan tlaten keduanya bergerak dengan sangat profesional. Pelayan meletakkan gelas di depan dua sejoli yang sedang kasmaran itu, menuangkan Wine, lengkap dengan cincin di gelas si gadisnya. sementara Si pemain biola memainkan irama yang sangat romantis yang membuat keduanya sejoli itu terhanyut dan terlena terbawa suasana romantis.
"It's So Sweet, Honey." Elizabeth Soendari tersenyum manis dan memegang tangan Karno de las Carbite.
Kini keduanya saling berpegangan tangan dan saling bertatapan mata, seakan disana hanya ada mereka berdua. Membuat Karno de las Carbite lupa tujuan awalnya. Tapi untungnya dia kembali tersadar oleh suara pelayan yang menyodorkan buku menu.
"Mau pesan apa Hany?" Karno de las Carbite menanyai pacarnya.
"Up to You, Honey." jawab Elizabeth Soendari.
Karno de las Carbitepun memesan beberapa menu dan mengembalikan buku menu itu pada pelayan. Kemudian mereka kembali berpegangan tangan dan berpandangan mata.
Tidak menunggu lama pesanan pun datang. Pisau, seendok, garpu beraksi, beradu dengan makana yang tersusun rapi diatas wadahnya. Tampaknya hidangan yang dipesan Karno de las Carbite agak pedas sehingga Elizabeth perlu minum karena kepedasan. Namun, karena sangat panik elizabeth sundari tidak meraih gelas air putih yang berada di samping kiri, tapi meraih gelas wine yang berada di samping kanannya. Tergesa-gesa diteguknya segelas Wine itu dalam sekali teguk sehingga...
"Uhuk... Uhuk... help... help... uhuk...," tersedak! Elizabeth Soendari memegangi lehernya.
Karno de las Carbitepun segera membantu dengan menepuk-nepuk punggung pacarnya yang masih terbatuk-batuk sambil memberi aba-aba untuk mengeluatkannya.
Musik berhenti. Pemain musik dan pelayan yang membawa Wine berusaha menolong Elizabeth Soendari yang masih terbatuk-batuk. Karena menjadi panik, si pelayan menuangkan segelas Wine dan memberikannya pada Elizabeth Soendari dan,
"Glek glek glek...." Air masuk kedalam tenggorokan elizabeth Soendari.
Batuknya terhenti, dia bernafas lagi dan cincinnya tertelan. Karno de las Carbite yang menyadari apa yang terjadi, tidak percaya dengan apa yang baru saja dia alami. Gagallah reencana lamaran romantisnya.
"what is that? like a ring in my throat." Elizabeth soendari yang mengatur nafasnya bertanya-tanya pada Karno de las Carbite.
"Apa kau menelannya Hany?" Tanya Karno de las Carbite.
"Yes, Why? is it dangerous?" Elizabeth Soendari panik.
"No. But You right, it's a ring. I want propose you to marry me, whit romantic way, but... it... I'm sorry honey." Karno de las Carbite berusaha menjelaskan pada pacarnya.
Elizabeth yang mulai ngerti malah bertambah panik dan mencak-mencak," Lha njur piye mas? "
Pelayan dan pemain biola yang melihat perubahan bahasa pada dua sejoli yang baru saja mengalami tragedi yang memprihatinkan itu jadi kebingungan, saling berpandanga dan meninggalkan sepasang kekasih aneh itu.
"Yo ngenteni sesuk nek wis metu dek, nek lamaranku mbok tompo yo enggonen, nek ora yo simpenen wae." Kata Karno de las Carbite pasrah.
Lalu keduanya pun manyun berdua dan melanjutkan proses makan mereka sambil membayangkan peristiwa yang kira-kira terjadi besok pagi berdasarkan versi masing-masin.




terinspirasi dari Kejar tayang episode: "cincin kawin tertelan semua jadi tertekan" dan Spiderman 3

Minggu, 28 Februari 2010

Sebuah fakta tentang "Ayam"


Beberapa hari yang lalu aku tidak sengaja melihat sebuah film kartun produksi Walt Disney, miliknya Donald Trumph, yang tokoknya Mickey Mouse dan kawan-kawan. Di salah satu adegan ada seekor induk ayam dengan dua ekor anaknya sedang mematuk cacing tanah, lalu membagi menjadi menjadi tigabagian lalu memakannya bersama anak2nya.
Dan dahulu, waktu aku masi duduk di bangku SD (gak sopan duduk kok di bangku, apa gak ada kursi?), lupakan kalimat di dalam kurung dan lanjut ke intinya. Saat itu banyak ditemukan dalam buku Bahasa Indonesia, Bahasa Jawa dan di beberapa buku pelajaran dan buku cerita gambar ilustrasi seekor induk ayam yang memakan cacing tanah atau membaginya untuk anaknya.
Namun, tahukah bahwa sebenarnya Ayam tidak makan cacing tanah, atau boleh dibilang gak doyan cacing tanah? Apa buktinya?
Tentu ada! Saat banjir, di kampung banyak cacing yang keluar dari sarang dan memenuhi jalanan. Ayam kampung yang biasanya idak dikandang dan keluyuran mencari makan sendiri tidak perduli dengan jumlah cacing yang melimpah dan cenderung mencari makanan yaang lain.
Kemudian, beberapa hari lalu, saat di tempatku ada seekor cacing tanah yang besar sedang menggeliat di tanah pekaranganku, diantara ayam2ku yang sedang mencari makan, dicuekin begitu saja oleh ayam2 itu. Seakan tidak tertarik bahkan gah ada sedikitpun usaha untuk mencoba mematuknya, meskipun si ayam sadar betul si cacing sedang show time disana. Lalu aku tanyakan pada Emakku, kok cacingnya gak dimakan ayam ya? lalu kata Emakku ayam itu bukan pemakan cacing, karena cacing bukan makanan ayam. Terus kenapa di buku pelajaran dan di dunia kartun ayam makan cacing? silakan cari jawabannya sendiri!!