Jumat, 23 April 2010

Di Usia ke Sepuluh tahun.


Apa yang dimainkan anak perempuan berusia sepuluh tahun? Boneka barbie, masak-masakkan, perang-perangan, sepak bola, congklak atau main judi? Mudah-mudahan bukan yang terakhir, tapi yang jelas di usia sepuluh tahun anak perempuan akan berusaha untuk bersosialisasi dengan kawan-kawan sebayanya yang sejenis juga yaitu anak perempuan.
Namun, agak berbeda denganku. Aku jarang berinteraksi dengan teman sebayaku karena menurut emakku tercinta, hal-hal yang dimainkan oleh teman-teman sebayaku saat itu adalah hal yang sangat berbahaya. Diantaranya:
1. Bermain api saat masak-masakkan di kebun tetangga. Kata emakku apinya bisa mengakibatkan kebakaran rumah atau pohon, karena disana banyak ranting kering dan dedaunan kering yang berserakan. Dan bagusnya hal seperti itu pernah hampir terjadi dan bukan hanya sekali.
2. Bermain di kali bengawan Solo. Rumahku berjarak empat rumah dari sungai bengawan Solo. Sebagian geng teman-temanku yang menguasai Sungai sering bermain perahu-perahuan, belajar berenang, main enceng gondong, menjarah sungai, mengambil barang-barang yang terhanyut di sungai dan melakukan berbagai aktivitas di suangai yang menyenangkan. Kata emakku, itu jorok, sungai kita sudah tidak seperti jaman emak dulu, banyak lubang, binatang berbahaya dan airnya tidak sehat, jadi jauhi sungai! begitulah.
3. Maling Tebu. Inilah hal yang paling dilarang untuk aku lakukan, bermain dengan anak-anak yang suka maling tebu. Kata emakku itu buruk, tercela dan kalau tertangkap bisa masuk penjara. Padahal menurut cerita teman-temanku yang suka nyolong tebu di perkebunan milik pabrik gula gak ada cerita tentang penjaranya. Semuanya keren, menantang, seperti dikejar-kejar mandor, dikejar-kejar ular sampai bisa dijahit di bagian lutut kita. Wow keren kayaknya.
Alhasil aku hanya bisa berinteraksi dengan teman-teman saat ngaji di TPA, dan Sekolah. Selebihnya kuhabiskan waktu bermainku dengan Tivi hitam-putih yang dibeli bapak, atau adik dan sepupuku. Namun semua itu sangat membosankan, jadi kulakukan hal yang kuanggap menyenangkan dalam dunia anak sepuluh tahun, yaitu membuat permainan, dimana akulah yang mengendalikan semuanya. Main setan-setanan.
Saat itu setan yang paling populer di usiaku yang kesepuluh, selain si manis jembatan ancol adalah pocong. Aku pernah melihat pocong beberapa kali di Tivi dan aku akn buat pocong sendiri di rumah dengan adikku yang berusia enam tahun. Ceritanya aku dan seorang adikku yang lain yang berusia empat tahun, seorang sepupu yang juga empat tahun dan seorang tetangga yang setahun lebih muda dariku akan bermain sebagai orang desa (begitu aku menyebutnya saat itu) yang ketakutan karena ada pocong di desanya. Aku lupa bagaimana pembagian perannya, tapi yang jelas ada RT, pedagang dan juragan batik disana.
Langkah awalnya, aku membungkus adikku yang berusia enam tahun dengan kain hitam panjang yang biasa kujadikan selimut saat tidur, dengan posisi telentang lalu mengikatnya di lima bagian, ujung kepala, pergelangan kaki, leher, perut dan lutut. Semuanya terlihat baik-baik saja. Kemudian aku membedaki adikku, dengan bedak bayi seputih mungkin, dan dia pasrah saja sambil merem. Sementara anak-anak yang lain berada di sekeliling melihat aksiku.
Setelah acara make-up pocong selesai aku menyuruh mereka semua sembunyi, karena ini adalah petak umpet pocong. Semuanya menurut dan sembunyi di tempat masing-masing, sesuai petunjukku. Sedangkan aku, aku membantu si pocong berdiri, karena dia tidak bisa berdiri sendiri. Rencananya aku akan menunjukkan tempat-tempat yang harus dia lewati sebagai pocong, tapi semua rencana menghilang saat aku memancang pocong yang aku buat secara keseluruhan, mulai dari ujung atas sampai kakinya. aku bergeming tak bergerak. Seakan seluruh aliran darahku berhenti dan jantungku berhenti berdetak. Kakiku sangat berat. Namun semua itu tidak berlangsung lama. Setelah adikku membuka matanya, barulah hal yang benar-benar terasa seram terjadi. Wajahnya pucat, matanya merah tiba-tiba membuka, dengan tubuh terbungkus kain hitam berdiri tepat di hadapanku. Segera dan cepat kuambil langkah seribu sambil meneriakkan A panjang berlari menuju persembunyian adik dan sepupu kecilku.
Terengah-engah dengan mulut ternganga aku duduk diantara mereka berdua. Sementara si pocong terus berteriak teriak memanggil namaku. Tampaknya dia juga ketakutan saat melihat wajahnya di cermin (tepat di belakangku berdiri saat membuat pocong ada cermin besar).
"Mbak aku wedi!" si pocong memanggilku dengan suara rintih menangis.
"Aku yo wedi karo kowe, pokoke kowe ojo mrene!" kataku dengan keras.
"Lha terus leh nyopot iki piye, tanganku gak iso metu?" nada suara pocong semakin menunjukkan dia sedang menangis.
"Lha piye? aku wedi karo kowe." jawabku lagi. Lalu aku suruh adik kecil dan sepupuku kesana, belum sampai mereka keluar, mereka malah berteriak.
"wonge rene mbak." kata mereka.
Aku pun berusaha memastikan, dia memang menuju arah kami, dan dia melompat. Sangat menyeramkan seperti di tivi, hingga aku mengeluarkan banyak keringat kerena ketakutan. Lalu membawa dua adik kecilku berlari ke rumah tetangga. Bagusnya aku menemukan emakku di pintu, jadi aku ceritakan semuanya kepada emak, dan hasilnya aku mendapatkan satu lagi larangan dari emakku, tidak boleh main setan-setanan dengan siapapun juga, karena membahayakan diri sendiri dan orang lain. Habislahlah.