Minggu, 28 Februari 2010

The Confusion of Es Cincau....



Suatu Hari di Siang yang panas, seorang penjual es cincau melintas dengan penuh godaan. "Tilut.. Tilut..." suara klakson khas penjual es mebuat tenggorokan semakin kering, didera kehausan yang sangat. "Tilut.. Tilut.." Suaranya kini membuat otak tak lagi membayangkan hal ain selain seplastik es cincau yang sueger benerr (bukan bermaksud mencuplik salah satu program TV lho).
"Mas... tumbas!" Seorang anak laki-laki dengan umur sekitar sepuluh tahun berteriak memanggil penjual cincau dengan bahasa jawa. Namun, si penjual cincau tidak menggubris dan tetep ngeloyor sambil asyik membunyikan klakson ala Cincaunya. Pelan tapi pasti, seakan tidak perduli dengan panggilan si bocah, Mas penjual Cincau terus mengayuh sepedanya.
"Mas... Tumbas!" Kali ini si bocah gak sekedar berteriak tapi juga mengejar dengan sekuat tenaga, seraya terus meneriakkan kalimat yang sama, berharap si Mas penjual cincau berhenti. Sebuah niat yang kuat, ditambah dorongan tekad yang luar biasa membuat si Bocah berhasil mendahului si Mas cincau dan menghalau tepat di depan gerobak Mas cincau.
dengan terengah engah si bocah menyorohkan selembar uang seribu rupiah, dan kembali mengulangi kalimatnya, "Tumbas es cincaune mas..!"
Tanggap dengan situasi, si Mas cincau segera beraksi dengan gelas, sendok dan segala bahan meramu sebungus es cincau yang sueger.
"Mboten sah diparingi cincau mas!" si bocah kembali bicara sebelum si Mas cincau menyelesaikan peramuan es cincau yang seger. Tapi si Mas cincau cuma mengangguk dan tetap memberikan cincau ke dalamnya. Si bocah yang bingung, malah bengong saja melihat apa yang terjadi. Lalu si Mas cincau memberikan uang kembalian 500 rupiah, tanpa ngomong apa apa.
Bersamaan dengan si Bocah sepuluh tahun, ternyata banyak juga orang yang mulai ngerubungi Mas Cincau, mulai dari simbah simbah, embak-embak, mas-mas dan adek-adek. Namanya orang kampung, biasanya ramah (dalam artian banyak ngomong, alias suka tanya-tanya). Apalagi sama Mas cincau yang manis (maksudnya es Cincaunya yang manis).
"Mas pun dangu to dodolan es cincau?" seorang embak-embak (bukan embek-embek, itusih kambing) memulai sebuah pertanyaan pendek. Tapi si Mas cincau Cuma mengangguk sambil tersenyum.
"Mase ki isinan bnget, ditakoni kok malah mesam-mesem." si embak malah tambah menggoda. Tapi si Mas cincau malah memberikan es cincaunya dan berkata, "Harganya lima ratus rupiah."
"Damel kiambak nopo mendet nggene sinten mas?" Sekarang giliran Mas-Mas yang bertanya. Responnya masih sama senyuman dan menyampaikan harga Es cincanya.
"Mas mboten sah diparingi cincau, susune sing rasa strobery, terus es se sithik wae ya mas!" seorang adek kecil sedang menyampaikan orderan pada Mas cincau.
Entah karena sudah tidak tahan, bingung atau apa, tiba-tiba si mas cincau ngomong sendiri dengan sedikit menggerutu sambil terus meracik es cincau,"Urang #@$##*, ebi, kadie? saha, pisan #$@???! teh, susu, mane, bla bla bla... (bahasa sulit diterjemahkan karena suaranya pelan-pelan). kejadian ini terulang beberapa kali hingga akhirnya, para warga mulai mengerti kalau si Mas cincau ini adalah orang sunda yang tidak ngerti bahasa jawa babar blas. Dia merantau ke Jawa baru beberapa hari, dan sayangnya si Mas juga gak begitu ngerti bahasa Indonesia, jadinya yah bingung gitu deh.
Namun sekarang setelah beberapa hari Si Mas cinau mulai ngerti bahasa jawa, dan pelanggannya tidak perlu lari-lari lagi ngejar dia, meskipun dia belum bisa ngomong jawa, tapi ngertilah maksudnya orang jawa ngomong apa.
Buat mas cincau, Tetaplah jualan disini Mas, soalnya Seger dan murah meriah....