Rabu, 23 Desember 2009

Ketika Kata Maaf Tak bernilai

Masih teringat degan jelas, kasus seorang nenek yang harus menjalani proses persidangan dan mendapat vonis hukuman  selama satu setengah bulan, karena mau nyolong kopi dan ketahuan sama yang punya kebon kopi. Meskipun si nenek sudah minta maaf dan gak jadi ngambil kopi tersebut, tetap saja si empunya kebon memperkarakan kasus macam itu ke pengadilan. Wah Wah Wah, taat hukum benar nih warga negara Indonesia yang satu itu, sampai cuma hukum yang dipikirkan, bukan berbelas kasihan, kasihan kan neneknya sudah tua. mungkin saja maksud si empunya biar nenek bisa istirahat satu setengah bulan di tahanan, makan minum gratis gak perlu capek2, bagus juga kalau begitu niatnya. Namun, dibalik jeruji penjara gak semuanya baik kan... gimana kalau nenek malah sakit sampai mati, apa yang punya kebon kopi bakalan dituntut balik? Nggeh mboten lah...
Disini bukan masalah nuntut balik yang mau dipermasalahkan, tapi karena kesalahan yang seharusnya dapat diselesaikan dengan baik2, damai dan gak kakehan cing cong, tapi malah dibuat gede. Bukankah seharusnya si empunya kopi bisa membiarkan si nenek pergi, lagi pula nenek juga gak jadi nyolong plus sudah pake minta maaf juga. Memang sih, ini bisa jadi pelajaran biar calon2 dan pelaku kejahatan jadi berpikir seratus, dua ratus ato berapa ratus kali untuk nyolong di kebon itu, tapi yah gak harus sejauh itu kali, misalnya bisa ke pak RT dulu, ato ke pak RW, ato ke pak Lurah. kalu begini dimana letak asas kekeluargaan dalam menyelesaikan masalah, dimana nilai2 kemanusiaan yang pernah dipelajari waktu jaman SD sampai S123, Jadi ingat kata2 Dao Ming Tse yang ada di Meteor garden, dia kan sering ngomong, " Kalau minta maaf berguna, apa gunanya polisi?" kalo melihat kasus si nenek dan pemilik kebon kopi ini, kalimat itu memang benar2 berlaku.